LAPORAN PRAKTIKUM
GENETIKA TUMBUHAN
ACARA IV
PERSILANGAN MONOHIBRIDA & DIHIBRIDA
(PEMBUKTIAN HUKUM MENDEL I
DAN II)
Oleh:
NAMA :
NIM :
ROMBONGAN :
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
LABORATORIUM
PEMULIAAN TANAMAN DAN BIOTEKNOLOGI
PURWOKERTO
2013
PERSILANGAN MONOHIBRIDA & DIHIBRIDA
(PEMBUKTIAN HUKUM MENDEL I
DAN II)
Judul Acara : Persilangan
Monohibrida & Dihibrida (pembuktian
hukum Mendel I dan II)
Hari,Tanggal praktikum :
Nama :
NIM :
Asisten :
Rekan Kerja :
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Persilangan monohibrida adalah
persilangan sederhana yang hanya memperhatikan satu sifat atau tanda beda.
Percobaan ini akan diujikan pada lalat Drosophila dengan maksud untuk
membuktikan Hukum Mendel I. Pada kasus dominant penuh, keturunan yang didapat
pada F2 akan menunjukkan perbandingan fenotip dominan dan resesif 3
: 1 atau perbandingan genotip 1 : 2 : 1. Analisa dengan uji X2 hanya
dilakukan untuk perbandingan fenotipnya. Persilangan ini bersifat resiprokal,
artinya penggunaan individu jantan dan betina dengan satu tanda beda tertentu
dapat sesuka hati tanpa ada pengaruhnya dalam rasio fenotip generasi kedua (F2).
Persilangan dihibrida merupakan
perkawinan dua individu dengan dua tanda beda. Persilangan ini dapat
membuktikan kebenaran Hukum Mendel II yaitu bahwa gen-gen yang terletak pada
kromosom yang berlainan akan bersegregasi secara bebas dan dihasilkan empat
macam fenotip dengan perbandingan 9 : 3 : 3 : 1. kenyataannya, seringkali
terjadi penyimpangan atau hasil yang jauh dari harapan yang mungkin disebabkan
oleh beberapa hal seperti adanya interaksi gen, adanya gen yang bersifat
homozigot letal dan sebagainya.
Masalah penurunan sifat atau
hereditas mendapat perhatian banyak peneliti. Peneliti yang paling popular
adalah Gregor Johann Mendel yang
lahir tahun 1822 di Cekoslovakia. Pada tahun 1842, Mendel mulai mengadakan
penelitian dan meletakkan dasar-dasar hereditas. Ilmuwan dan biarawan ini
menemukan prinsip-prinsip dasar pewarisan melalui percobaan yang dikendalikan
dengan cermat dalam pembiakan silang.
Penelitian-penelitian Mendel menghasilkan hukum Mendel I dan hukum
Mendel II.
Mendel melakukan persilangan
monohibrid atau persilangan satu sifat beda, dengan tujuan mengetahui pola
pewarisan sifat dari tetua kepada generasi berikutnya. Persilangan ini untuk membuktikan
hukum Mendel I yang menyatakan bahwa pasangan alel pada proses pembentukkan sel
gamet dapat memisah secara bebas. Hukum Mendel I disebut juga dengan hukum
segregasi.
Mendel melanjutkan persilangan dengan
menyilangkan tanaman dengan dua sifat beda, misalnya warna bunga dan ukuran
tanaman. Persilangan dihibrid juga merupakan bukti berlakunya hukum Mendel II
berupa pengelompokkan gen secara bebas saat pembentukkan gamet. Persilangan
dengan dua sifat beda yang lain juga memiliki perbandingan fenotip F2
sama, yaitu 9 : 3 : 3 : 1. Berdasarkan penjelasan pada persilangan monohibrid
dan dihibrid tampak adanya hubungan antara jumlah sifat beda, macam gamet,
genotip, dan fenotip beserta perbandingannya.
Persilangan monohibrid yang
menghasilkan keturunan dengan perbandingan F2, yaitu 1 : 2 : 1
merupakan bukti berlakunya hukum Mendel I yang dikenal dengan nama Hukum Pemisahan Gen yang Sealel (The Law of Segregation of Allelic Genes).
Sedangkan persilangan dihibrid yang menghasilkan keturunan dengan perbandingan
F2, yaitu 9 : 3 : 3 : 1 merupakan bukti berlakunya Hukum Mendel II
yang disebut Hukum Pengelompokkan Gen secara Bebas (The Law Independent Assortment of Genes). Dengan mengikuti secara
saksama hasil percobaan Mendel, baik pada persilangan monohibrid maupun
dihibrid maka secara sederhana dapat kita simpulkan bahwa gen itu diwariskan
dari induk atau orang tua kepada keturunannya melalui gamet.
B.
TUJUAN
Tujuan dari praktikum kali ini
adalah mengamati, mempelajari, dan membedakan sifat dari keturunan hasil persilangan
monohibrid dan dihibrid serta membuktikan Hukum Mendel I dan Hukum Mendel II
pada persilangan monohibrid dan dihibrid pada lalat Drosophila.
II.
BAHAN DAN ALAT
- BAHAN
-
Lalat Drosophila
-
Kloroform
-
Ekstrak pisang
-
Kapas
- ALAT
-
Botol selai
-
Pipet tetes
-
Cawan Petri
-
Kantong plastik putih
-
Karet gelang
-
Busa/gabus
III.
PROSEDUR KERJA
A.
Persilangan Monohibrida
- Dipilih dua pasang lalat Drosophila yang mempunyai satu sifat atau tanda beda tertentu untuk dikawinkan.
- Setelah tampak berbentuk pupa (6-7 hari setelah dikawinkan), semua induk persilangan harus dibuang sebelum pupa-pupa itu menjadi imago.
- Lakukan pengamatan pada keturunan pertamanya (F1). Apabila terdapat lebih dari satu macan fenotip, maka persilangan dianggap gagal sehingga tidak dapat diteruskan sampai F2 karena hasilnya akan menunjukkan bahwa betina yang dipakai tidak virgin.
- Silangkan kembali dengan 2 pasang F1 yang baru pada kultur yang baru pula dan selanjutnya dilakukan kembali langkah no. 2 dan 3 untuk keturunan keduanya (F2).
- Data dari pengamatan diuji dengan uji chi-square (X2).
B.
Persilangan Dihibrid
1. Dipilih dua
pasang lalat Drosophila yang mempunyai dua sifat atau tanda beda tertentu untuk
dikawinkan.
2.
Setelah tampak berbentuk pupa (6-7 hari setelah dikawinkan), semua induk
persilangan harus dibuang sebelum pupa-pupa itu menjadi imago.
3.
Lakukan pengamatan pada keturunan pertamanya (F1). Apabila
terdapat lebih dari dua macam fenotip, maka persilangan dianggap gagal sehingga
tidak dapat diteruskan sampai F2 karena hasilnya akan menunjukkan
bahwa betina yang dipakai tidak virgin.
4. Silangkan
kembali dengan 2 pasang F1 yang baru pada kultur yang baru pula dan
selanjutnya dilakukan kembali langkah no. 2 dan 3 untuk keturunan keduanya (F2).
5. Data dari pengamatan
diuji dengan uji chi-square (X2)
IV.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Hasil
persilangan Dihibrid (F1x F1) :
−
Lalat mata merah tubuh abu-abu (normal) =
107
−
Lalat mata putih tubuh abu-abu (normal ) =
116
−
Lalat mata merah tubuh ebony =
15
−
Lalat mata putih tubuh ebony =
17
Persilangan
lalat Drosophila :
P : mata
merah, ebony x mata putih, tidak ebony
(w+w+,ee) (ww,e+e)
G : w+e w, e+
F1 : mata merah tubuh abu-abu (normal)
(w+w, e+e)
F2 : [ F1 x F1]
Dari persilangan F1
didapat hasil pada F2 :
−
Lalat mata merah tubuh abu-abu (normal) =
107
−
Lalat mata putih tubuh abu-abu (normal) =
116
−
Lalat mata merah tubuh ebony =
15
−
Lalat mata putih tubuh ebony =
17
Genotipe yang mungkin,
jika dilihat dari tetua G dan F2= w+w; wwe+e;w+wee;wwee
Perbandingan F2
dari nilai 0 ≠ 9 : 3 : 3 : 1
Tabel X2 (chi-square)
Karakteristik yang diamati
|
Σ
|
||||
MA
|
PA
|
ME
|
PE
|
||
O
|
107
|
116
|
15
|
17
|
245
|
E
|
137,8
|
45,9
|
45,9
|
15,3
|
245
|
O – E
|
- 31
|
70
|
- 31
|
2
|
10
|
(O – E)2
E
|
6,96
|
106,52
|
20,89
|
0,26
|
134,63
|
X2 hit
|
6,96
|
106,52
|
20,89
|
0,26
|
134,63
|
Nilai perbandingan
jika melihat hasil dari O (observasi) tidak sesuai dengan 9 : 3 : 3 : 1, dan X2
hit > X2 tabel. Jadi hipotesis ditolak.
Untuk siklus
Drosophila setelah tetua pada F1 dihibrid.
Hari pertama : belum ada perkembangan
Hari ketiga : larva
Hari kelima : pupa
Hari keenam : menetas / keluar dari pupa lalu
menjadi lalat kembali.
Proses berlangsung
cepat karena faktor “cahaya” pada peletakan di hari keempat dan kelima hingga
keenam.
Untuk F2
dihibrid.
Hari pertama : masih tetap
Hari ketiga : larva
Hari keenam : pupa
Hari kedelapan : keluar dari pupa menjadi lalat
Keterangan tabel X2
:
MA = mata merah tubuh abu-abu
PA = mata putih tubuh abu-abu
ME = mata merah tubuh ebony
PE = mata putih tubuh ebony
Perolehan genotipe
dari :
Mata merah, genotipe
yang mungkin adalah = w+w+,
w+w
Tubuh abu-abu,
genotipe yang mungkin adalah = e+e+,e+e
Mata putih, genotipe
yang mungkin adalah = ww
Tubuh ebony, genotipe
yang mungkin adalah = ee
Jika muncul mata merah abu-abu,
maka ada 4 kemungkinan pada genotipe :
1. w+w+e+e+
2. w+w+e+e
3. w+we+e+
4. W+we+e
Jika pada F1
disilangkan mata merah abu-abu dengan mata merah abu-abu dapat dilihat :
P : merah abu-abu x merah
abu-abu
Genotipe :
w+w e+e w+w e+e
F1 : w+w
e+e+
F2 :
[F1 x F1]
Dalam tabel genotipe F2
:
♀
♂
|
w+e+
|
w+e
|
we+
|
we
|
w+e+
|
w+w+e+e+
|
w+w+e+e
|
w+we+e+
|
w+we+e
|
w+e
|
w+w+e+e
|
w+w+ee
|
w+we+e
|
w+wee
|
we+
|
w+we+e+
|
wwe+e
|
wwe+e+
|
wwe+e
|
we
|
w+we+e
|
w+wee
|
wwe+e
|
wwee
|
Jika sesuai dengan hukum Mendel,
maka perbandingan genotipe normalnya adalah :
Mata merah abu-abu : mata putih
abu-abu : mata merah ebony : mata putih ebony
9 : 3
: 3 : 1
Pada tahun 1901, Morgan menemukan adanya
rangkaian kelamin dengan menggunakan Drosophila
melanogaster yang memperlihatkan warna matanya. Lalat yang normal bermata
merah, tetapi diantara sekian banyak lalat bermata merah itu didapatkan lalat
jantan bermata putih. Karena perbedaan dari yang normal maka lalat yang bermata
putih disebutnya menyimpang dari yang normal. Morgan mengawinkan lalat jantan
bermata putih itu dengan lalat betina normal bermata merah. Semua lalat pada F1,
baik yang jantan maupun betina bermata merah. Ketika lalat-lalat F1
dikawinkan didapatkan F2 yang memperlihatkan perbandingan ¾ bermata
merah : ¼ bermata putih. Ternyata, lalat-lalat F2 yang bermata merah
adalah betina, sedangkan separo dari jumlah lalat jantan memiliki mata merah
dan separo yang lain bermata putih. Oleh karena itu, Morgan mengambil
kesimpulan bahwa :
a.
Faktor warna mata merah
dominant terhadap factor warna mata putih.
b.
Gen resesif yang menentukan
warna mata putih hanya memperlihatkan pengaruhnya pada lalat jantan saja, dan
c.
Gen yang menentukan warna mata
pada Drosophila melanogaster itu terdapat pada kromosom X.
Selanjutnya, Morgan menyatakan bahwa gen
atau sifat yang bergantung pada kromosom seks itu disebut tertaut seks (sex linkage), peristiwanya disebut tautan sex. Andaikata gen resesif yang
menentukan warna mata putih itu adalah w (white) yang terdapat pada kromosom X
maka alel dominannya adalah W. Tautan sex dapat terjadi pada kromosom X maupun
kromosom Y.
Hukum Mendel I : Pemisahan gen sealel . Dalam bahasa inggris disebut “Segregation of
Allelic Genes”. Peristiwa pemisahan alel ini terlihat ketika pembentukkan gamet
individu yang memiliki genotip heterozigot, sehingga tiap gamet mengandung
salah satu alel itu. Hukum ini disebut juga Hukum
Segregasi yang selalu berhubungan dengan percobaan persilangan dua individu
yang memiliki satu karakter berbeda atau disebut juga monohybrid, dengan perbandingan rasio genotip 1 : 2 : 1.
Warna tubuh lalat buah yang normal ialah
kelabu. Ada
strain yang warna tubuhnya hitam, berasal dari mutasi gen kelabu. Kelabu
dominan terhadap hitam.
Simbol : B =
kelabu, b = hitam
P :
BB x bb
(kelabu) (hitam)
F1 : Bb
(kelabu)
F2 : F1 x F2
♀
♂
|
B
|
b
|
B
|
BB
|
Bb
|
B
|
Bb
|
bb
|
Ratio genotip :
1 BB : 2 Bb : 1 bb
Ratio fenotip :
kelabu : hitam
3 :
1
Hukum Mendel II : Pengelompokkan gen secara bebas. Dalam
bahasa inggris : “Independent Assortment of Genes”. Hukum ini berlaku ketika
pembentukkan gamet, dimana gen sealel secara bebas pergi ke masing-masing kutub
ketika meiosis. Pembuktian hukum ini dipakai pada dihibrid atau polihibrid,
yakni persilangan dari individu yang memiliki dua atau lebih karakter berbeda.
Disebut juga Hukum asortasi. Disinilah berlaku Hukum Mendel II itu, yakni
ketika terjadinya meiosis pada gametogonium individu yang mempunyai genotip
double heterozigot sesuai dengan jenis hibridnya. Ratio fenotip F2,
kalau kita jumlahkan semua yang memiliki karakter sama dari keempat macam itu
akan didapat perbandingan ratio fenotip dihibrid F2 = 9 : 3 : 3 : 1.
Sayap panjang normal
pada lalat buah dominan terhadap sayap kisut (abnormal karena mutasi), sedang
warna mata merah normal dominan terhadap mata putih (abnormal karena mutasi).
Simbol untuk bentuk sayap : V-v, untuk warna mata : W-w (berasal dari vestige dan white).
Simbol :
VV = sayap panjang vv = sayap kisut
WW = mata merah ww= mata putih
P : VVWW x vvww
(panjang-merah) (kisut-putih)
F1 :
VvWw
(panjang-merah)
F2 : F1 x F1
♀
♂
|
VW
|
Vw
|
vW
|
vw
|
VW
|
VVWW
|
VVWw
|
VvWW
|
VvWw
|
Vw
|
VVWw
|
VVww
|
VvWw
|
Vvww
|
vW
|
VvWW
|
VvWw
|
vvWW
|
vvWw
|
Vw
|
VvWw
|
Vvww
|
vvWw
|
vvww
|
Ratio genotip :
9 V-W - :
3 V- ww : 3
vvW- : 1 vvww
Ratio fenotip : panjang-merah : panjang putih : kisut-merah : kisut-putih
9
: 3 : 3 : 1
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
SIMPULAN
1.
Persilangan monohibrid adalah
persilangan pada suatu organisme yang memiliki satu sifat beda, sedangkan
persilangan dihibrid adalah persilangan organisme yang memiliki dua sifat beda.
2.
Hukum Mendel I disebut juga
Hukum segregasi atau pemisahan gen sealel yang menghasilkan perbandingan
genotip F2 = 1 : 2 : 1. Sedangkan
Hukum Mendel II disebut juga Hukum Asortasi atau pengelompokan gen
secara bebas yang menghasilkan perbandingan genotip F2 = 9 : 3 : 3 :
1.
- Pada praktikum ini tidak semuanya proses persilangan monohybrid dan dihibrid pada lalat Drosophila menghasilkan perbandingan yang sesuai dengan harapan seperti halnya perbandingan yang dikemukakan oleh Mendel. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal :
-
Praktikan kurang jeli dalam
mengamati persilangan yang dilakukan terhadap lalat Drosophila.
-
Praktikan salah dalam proses
perhitungan hasil persilangan dengan menggunakan uji chi-square (X2).
-
Proses-proses pada prosedur
kerja tidak dilakukan dengan sempurna.
B.
SARAN
1.
Pada praktikum persilangan
monohibrid dan dihibrid sebaiknya praktikan memperhatikan betul prosedur kerja dan
kebersihan alat-alat yang akan digunakan.
2.
Praktikan harus sabar dan
teliti di dalam memelihara dan mengamati persilangan yang terjadi pada lalat
Drosophila, sebaiknya pada praktikum persilangan ini jangan menggunakan lalat
Drosophila karena terlalu sulit untuk diamati karena bentuknya yang terlalu
kecil.
DAFTAR PUSTAKA
Akhyar, Salman. 1999. Biologi
Untuk SMU Kelas III. Jakarta
: Grafindo.
Kimball, John W. 1987. Biologi.
Jakarta :
Erlangga.
Suryo. 1994. Genetika.
Yogyakarta : Gadjah
Mada University
Press.
Welsh, James R and Johanis P. Mogea.
1991. Dasar – Dasar Genetika dan
Pemuliaan Tanaman. Jakarta
: Erlangga.
Yatim, Wildan. 1983. Genetika
Edisi ke-3. Bandung
: Tarsito.
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan Berkomentar dengan Baik dan Sopan :)